TENTANG
KEKUASAAN
KEHAKIMAN
PRESIDEN
REPUBLIK
Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan
yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan;
b. bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman sehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
dan
PRESIDEN
REPUBLIK
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang . . .
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(1) Semua
peradilan di seluruh wilayah negara Republik
(2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
(1) Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(2) Peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
(3) Segala campur tangan
dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang,
kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana.
(1) Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
(2) Pengadilan
membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
(1)
Tidak seorang pun dapat
dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh
undang-undang.
(2)
Tidak seorang pun dapat
dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat
pembuktian yang sah
menurut undang-undang, mendapat
keyakinan bahwa seseorang
yang dianggap dapat bertanggung
jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Tidak
seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang.
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
ada . . .
ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(1) Setiap
orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2) Pejabat
yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana.
(3) Ketentuan
mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti
kerugian diatur dalam undang-undang.
BAB
II
BADAN
PERADILAN DAN ASASNYA
Pasal
10
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(2) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Pasal 11
(1) Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara
tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (2).
(2) Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
a. mengadili pada tingkat
kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di
semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
b. menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
c. kewenangan
lainnya yang diberikan undang-undang.
(3) Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil
pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diambil baik dalam
pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada
Mahkamah Agung.
(4) Mahkamah
Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pasal 12
(1) Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk :
a. menguji
. . .
a. menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus
pembubaran partai politik; dan
d. memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Selain kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(1)
Organisasi, administrasi, dan
finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
(2)
Organisasi, administrasi, dan
finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi.
(3)
Ketentuan mengenai
organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam
undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
(1) Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri.
(2) Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 diatur dengan undang-undang.
(1) Pengadilan
khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus .
. .
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara
perdata secara perdamaian.
(1) Semua pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Di antara hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang bertindak sebagai ketua dan lainnya sebagai hakim anggota sidang.
(3) Sidang
dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan
panitera.
(4) Dalam perkara
pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali undang-undang menentukan
lain.
(1) Pengadilan
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa,
kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Dalam hal
tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai,
putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.
(1) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali
undang-undang menentukan lain.
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.
(4) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
(5) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
(6) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur oleh Mahkamah Agung.
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(1) Terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan
banding .
. .
banding
kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali
undang-undang menentukan lain.
(2) Terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari
dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding
kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali
undang-undang menentukan lain.
Terhadap
putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain.
Pasal
23
(1) Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila
terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
(2) Terhadap
putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Tindak
pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu
menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(1) Segala
putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap putusan
pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang
ikut serta bersidang.
(3) Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.
Untuk kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta.
BAB III .
. .
BAB
III
HUBUNGAN PENGADILAN DAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA
Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta.
BAB
IV
(1) Hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.
(2) Dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa.
(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.
(2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang
yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap
seorang hakim yang mengadili perkaranya.
(3) Seorang
hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau
istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota,
jaksa, advokat, atau panitera.
(4) Ketua
majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan
pihak yang diadili atau advokat.
(5) Seorang
hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia
mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang
diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang
berperkara.
Pasal 30 .
. .
(1) Sebelum
memangku jabatannya, hakim, panitera, panitera pengganti, dan juru sita untuk
masing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut
agamanya.
(2) Sumpah
atau janji hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
Sumpah:
”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi
kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan
segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada
nusa dan bangsa.”
Janji:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan
memenuhi kewajiban hakim dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
(4)
Lafal sumpah atau janji
panitera, panitera pengganti, atau juru sita adalah sebagaimana yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
BAB V
KEDUDUKAN
HAKIM DAN PEJABAT PERADILAN
Pasal
31
Hakim adalah pejabat yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Pasal 33
Dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
(1) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung
dilakukan
. . .
dilakukan
oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan undang-undang.
(2) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim diatur dalam
undang-undang.
(3) Dalam
rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan
hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam
undang-undang.
Pasal 35
Panitera, panitera pengganti,
dan juru sita adalah pejabat peradilan yang pengangkatan dan pemberhentiannya
serta tugas pokoknya diatur dalam undang-undang.
BAB
VI
PELAKSANAAN
PUTUSAN PENGADILAN
(1) Pelaksanaan
putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
(2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan
undang-undang.
(3) Pelaksanaan
putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita
dipimpin oleh ketua pengadilan.
(4) Putusan
pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.
BAB
VII
BANTUAN
HUKUM
Pasal
37
Setiap
orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.
Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.
Pasal 40 .
. .
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dalam undang-undang.
Badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara
Republik
BAB IX
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 42
(1) Pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata
usaha negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004.
(2) Pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan agama selesai
dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.
(3) Pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan militer selesai
dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.
(4) Pengalihan organisasi, administrasi, dan
finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
(5) Keputusan Presiden sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditetapkan paling lambat:
a. 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir;
b. 60 (enam puluh) hari sebelum jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berakhir.
Pasal 43
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1):
a. semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan
Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan
pengadilan tinggi tata usaha negara, menjadi pegawai pada Mahkamah Agung;
b. semua
pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, pengadilan negeri,
pengadilan
. . .
pengadilan
tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara,
tetap menduduki jabatannya dan tetap menerima tunjangan jabatan pada Mahkamah
Agung;
c. semua
aset milik/barang inventaris di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi serta pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha
negara beralih ke Mahkamah Agung.
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2):
a.
semua pegawai Direktorat
Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan agama dan
pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah Agung;
b.
semua pegawai yang menduduki
jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama
menduduki jabatan pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah
Agung, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. semua aset milik/barang inventaris pada pengadilan agama dan
pengadilan tinggi agama beralih menjadi aset milik/barang inventaris Mahkamah
Agung.
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3):
a. pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur personel
militer;
b. semua pegawai negeri sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi pegawai negeri sipil pada Mahkamah Agung.
Mahkamah
Agung menyusun organisasi dan tata kerja yang baru di lingkungan Mahkamah Agung
paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB X
KETENTUAN
PENUTUP
Ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 48 .
. .
Pada
saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 74 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879) dinyatakan tidak
berlaku.
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Disahkan di Jakarta
pada
tanggal 15 Januari 2004
PRESIDEN
REPUBLIK
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 15 Januari 2004
SEKRETARIS
NEGARA
REPUBLIK
ttd
BAMBANG
KESOWO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK
NOMOR 4
TAHUN 2004
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
Dalam
usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan
tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Melalui
perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah diletakkan kebijakan
bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial
maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap
di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini sudah harus dilaksanakan
paling lambat 5 (lima) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dengan
berlakunya Undang-Undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan
agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah perkembangan peradilan agama
yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan
peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama
dan Majelis Ulama Indonesia.
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa
perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia
Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban memberi
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Disamping
perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga baru yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Mengingat
perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman,
maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 perlu dilakukan perubahan secara komprehensif.
Dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan
kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan
perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari
keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang
ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang
melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita
sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan
badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman.
Untuk memberikan kepastian dalam
proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di
bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.
Pasal
1
Kekuasaan Kehakiman yang
merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman
bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam
hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Kebebasan
dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim
adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga
putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat
Pasal 2
Cukup
jelas.
Pasal 3 . . .
Pasal
3
Ayat
(1)
Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan
penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau
arbitrase.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Ketentuan yang menentukan bahwa peradilan
dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” adalah sesuai
dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menentukan:
1.
Negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa;
2.
Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Ayat (2)
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan.
Yang
dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara
dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif.
Yang
dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh
rakyat.
Namun
demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan
ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud ”dipidana” dalam ayat ini adalah bahwa unsur-unsur tindak pidana dan
pidananya ditentukan dalam undang-undang.
Pasal
5
Cukup jelas.
Pasal
6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9 .
. .
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan ”rehabilitasi” adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan
putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik,
atau hak-hak lain.
Ayat (2)
Lihat penjelasan
Pasal 4 ayat (4).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Ketentuan
ini mengatur tentang hak uji Mahkamah Agung terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang. Hak uji tersebut dapat
dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan
perundang-undangan tersebut yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud dengan ”pengawasan tertinggi” dalam ketentuan ayat ini meliputi
pengawasan internal Mahkamah Agung terhadap semua badan peradilan dibawahnya.
Cukup
jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14 .
. .
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain,
adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan
tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan
industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan
pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Ayat
(2)
Peradilan Syariah
Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam yang terdiri atas Mahkamah Syariah
untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk tingkat banding
adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134).
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ketentuan
ayat (1) berlaku bagi pengadilan tingkat pertama.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (2) . . .
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Yang
dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” adalah dilihat dari titik berat
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat
kerugian tersebut terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili
oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer. Jika titik berat kerugian
tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh
pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Ayat (1)
Ketentuan ini
dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Ayat
(2)
Berdasarkan
ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan
hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga
putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan ”derajat ketiga” dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ayat (6) . . .
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”dipimpin” dalam ketentuan ini mencakup pengawasan dan tanggung jawab sejak diterimanya permohonan sampai dengan selesainya pelaksanaan putusan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Sejalan
dengan asas bahwa seseorang selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap
tidak bersalah, maka ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga atau
advokat sejak ditangkap dan/atau ditahan. Tetapi hubungan ini tidak boleh merugikan
kepentingan pemeriksaan, yang pelaksanaannya
sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana.
Pasal 39 .
. .
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup
jelas.
Pasal 41
Cukup
jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan “organisasi, administrasi, dan finansial pada ayat ini adalah
organisasi, administrasi, dan finansial pada mahkamah
militer
agung atau pengadilan militer utama, mahkamah militer tinggi atau pengadilan
militer tinggi, dan mahkamah militer atau pengadilan militer.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 43
Huruf
a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf
c
Ketentuan
ini masih tetap membolehkan penggunaan aset/barang inventaris yang ada selama
aset/barang inventaris tersebut belum tersedia di Mahkamah Agung.
Pasal 44
Huruf
a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf
c
Lihat penjelasan
Pasal 43 huruf c.
Pasal 45
Huruf
a
Cukup jelas.
Huruf b .
. .
Huruf
b
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK